Jakarta – Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) menilai serangan siber berskala besar dialami DeepSeek AI berasal dari Distributed Denial-of-Service (DDoS).
Sifat open-source dari platform ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait potensi risiko keamanan.
“Salah satu kemungkinan utama di balik serangan ini adalah serangan Distributed Denial-of-Service (DDoS), di mana server DeepSeek AI dibanjiri dengan lalu lintas internet dalam jumlah besar untuk membuat sistem mereka tidak dapat diakses,” kata Chairman CISSReC, Pratama Persadha pada Ahad (2/2/2025).
Serangan DDoS digunakan melumpuhkan layanan daring sebagai aksi sabotase, protes politik, atau persaingan bisnis.
Pratama Persadha meneruskan infrastruktur DeepSeek AI menjadi target pelaku yang ingin menguji ketahanan sistem. Bahkan model AI ini berusaha melemahkan persaingan di industri kecerdasan buatan.
“Faktor lain yang membuat DeepSeek AI menjadi target serangan adalah sifatnya yang open-source dimana model yang tersedia secara terbuka sering kali lebih rentan terhadap eksploitasi karena kode sumbernya dapat diperiksa oleh siapa saja,” ujarnya.
Selain itu aktor jahat yang ingin menemukan celah keamanan dan dalam beberapa kasus, kode yang terbuka ini dapat disalahgunakan untuk membangun serangan yang lebih canggih terhadap server.
Hal lainnya untuk menciptakan varian berbahaya dari model tersebut yang dapat memanipulasi informasi atau menyebarkan konten berbahaya.
DeepSeek AI juga menghadapi tantangan geopolitik besar karena perusahaan ini berbasis di China. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di negara-negara seperti Amerika Serikat (AS) terkait dengan pengelolaan data pengguna.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) menemukan fakta DeepSeek AI menyimpan data pengguna AS di server yang berlokasi di China, sehingga dapat menimbulkan potensi ancaman terhadap keamanan nasional.
“Situasi seperti ini mengingatkan kita pada kontroversi sebelumnya di Amerika Serikat terkait aplikasi TikTok,” tuturnya.
Pratama Persadha mengemukakan serangan siber ini juga bisa terkait dengan aktor negara atau kelompok yang memiliki kepentingan dalam membatasi pertumbuhan teknologi AI asal China.
“Dalam lanskap persaingan kecerdasan buatan global, serangan siber semacam ini sering kali merupakan bagian dari strategi perang ekonomi dan teknologi yang lebih luas,” ucapnya.
Serangan terhadap DeepSeek AI juga bisa menjadi indikasi kelompok peretas yang ingin mengeksploitasi sistem AI untuk keuntungan pribadi.
Model AI dengan kemampuan bahasa yang kuat dapat dimanfaatkan untuk berbagai kejahatan siber, seperti pembuatan deepfake, manipulasi informasi, atau bahkan pengembangan alat phishing yang lebih canggih.
“Dengan menyerang infrastruktur utama DeepSeek AI, peretas mungkin ingin memperoleh akses ke sistem internal, model AI yang belum dirilis, atau data pengguna yang dapat digunakan untuk tujuan berbahaya lainnya,” ucapnya. (adm)
Sumber: detik.com