5 Juta Ton Sampah Akan Dialami Bumi Akibat Aplikasi AI Generatif

Jakarta – Penelitian baru di Nature Computational Science mengidentifikasi artificial intelligence/AI (kecerdasan buatan) berkontribusi besar terhadap tumpukan sampah elektronik di dunia.

Studi ini memperkirakan aplikasi AI generatif dapat menambah 1,2 juta hingga lima juta metrik ton sampah berbahaya ke Bumi pada 2030.

Kontribusi ini akan meningkatkan puluhan juta ton produk elektronik yang dibuang dunia setiap tahunnya. Ponsel, oven microwave, komputer, dan produk digital lain sering mengandung racun seperti merkuri dan timbal.

Jika dibuang secara tidak benar, maka produk-produk tersebut dapat mencemari udara, air, dan tanah. Perserikatan Bangsa-Bangsa menemukan pada 2022, sekitar 78% limbah elektronik dunia berakhir di tempat pembuangan sampah atau di tempat daur ulang tidak resmi, tempat para pekerja mempertaruhkan kesehatan mereka untuk mencari logam langka.

Ledakan AI di seluruh dunia dengan cepat mengubah perangkat penyimpanan data fisik, ditambah unit pemrosesan grafis dan komponen berkinerja tinggi lainnya yang dibutuhkan untuk memproses ribuan kalkulasi secara bersamaan.

Perangkat keras ini bertahan selama dua hingga lima tahun, tetapi sering kali diganti segera setelah versi yang lebih baru tersedia.

Peneliti keberlanjutan di Reichman Israel University Asaf Tzachor menekankan keperluan memantau dan mengurangi dampak lingkungan dari teknologi ini.

Untuk menghitung seberapa besar kontribusi AI generatif terhadap masalah ini diperiksa mereka berupa jenis dan volume perangkat keras yang digunakan menjalankan model bahasa besar (large language model).

Selain itu waktu komponen-komponennya bertahan, dan tingkat pertumbuhan sektor AI generatif.

Para peneliti memperingatkan prediksi mereka adalah perkiraan kasar yang dapat berubah berdasarkan beberapa faktor tambahan. Misalnya, banyak orang mengadopsi AI generatif daripada yang diantisipasi oleh model para para peneliti.

Sementara itu, inovasi desain perangkat keras dapat mengurangi limbah elektronik dalam sistem AI tertentu. Namun, kemajuan teknologi lainnya dapat membuat sistem lebih murah dan lebih mudah diakses oleh publik, sehingga meningkatkan jumlah penggunaannya.

Peneliti di University of California, Riverside, Amerika Serikat (AS), Shaolei Ren, menyebutkan nilai terbesar dari studi ini berasal dari perhatiannya terhadap dampak AI yang luas terhadap lingkungan.

“Kita mungkin ingin perusahaan-perusahaan (AI generatif) ini sedikit melambat,” ujarnya.

Sebagian kecil negara mewajibkan pembuangan limbah elektronik dengan benar, dan negara-negara yang mewajibkannya sering kali gagal menegakkan hukum yang berlaku.

Dua puluh lima negara bagian AS memiliki kebijakan pengelolaan limbah elektronik, tetapi tidak ada hukum federal yang mewajibkan daur ulang elektronik.

Pada Februari, Senator Demokrat Ed Markey dari Massachusetts memperkenalkan sebuah RUU yang mewajibkan lembaga federal untuk mempelajari dan mengembangkan standar dampak lingkungan AI, termasuk limbah elektronik.

Namun, Undang-Undang Dampak Lingkungan Kecerdasan Buatan tahun 2024 (yang belum disahkan Senat), tidak akan memaksa pengembang AI untuk bekerja sama dengan sistem pelaporan sukarela.

Namun, Microsoft dan Google telah berjanji untuk mencapai nol limbah bersih dan nol emisi bersih masing-masing pada 2030. Upaya ini kemungkinan akan melibatkan pengurangan atau daur ulang limbah elektronik terkait AI.

Perusahaan yang menggunakan AI memiliki banyak pilihan untuk membatasi limbah elektronik.

Misalnya, server dapat diperpanjang masa pakainya melalui perawatan dan pembaruan rutin atau dengan mengganti perangkat yang usang ke aplikasi yang tidak terlalu intensif.

Tzachor dan rekan penulisnya mencatat dalam studi baru tersebut, dengan memperbarui dan menggunakan kembali komponen perangkat keras yang usang. Desain chip dan algoritma yang lebih efisien dapat mengurangi permintaan AI generatif terhadap perangkat keras dan listrik.

Menurut perkiraan penulis studi, menggabungkan semua strategi ini akan mengurangi limbah elektronik hingga 86%.

” Produk AI cenderung lebih sulit didaur ulang daripada elektronik standar karena produk AI sering kali berisi banyak data pelanggan yang sensitif,” kata Peneliti limbah elektronik di United Nations Institute for Training and Research, Kees Baldé.

Meski demikian, perusahaan teknologi besar mampu menghapus data tersebut dan membuang barang elektronik mereka dengan benar.

“Ya, memang ada biayanya, tetapi manfaatnya bagi masyarakat jauh lebih besar,” tuturnya. (adm)

Sumber: detik.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *